Belum pernah sekalipun saya menginjakkan kaki di Indonesia Timur. Paling jauh saya pernah ke Manado dan Makasar, atau Bali di bagian selatannya. Oleh karena itu, ketika keindahan Ora mulai banyak bermunculan di social media, saya langsung meracuni beberapa teman untuk pergi bersama saya. Trip kali ini memang sudah dirancang dari setengah tahun sebelumnya, saya dan beberapa teman menabung & membeli tiket pesawat sejak jauh-jauh hari demi bisa mewujudkan mimpi melihat bumi Maluku secara langsung.
Jika tujuan utamanya adalah Ora Eco Resort, maka mencapainya tidak sulit karena Ora menyediakan paket tur yang sudah termasuk biaya transport dari Bandara Pattimura – Ora Resort PP, makan 3x sehari, snack 1 x sehari, room, dan tur ke daerah wisata sekeliling Ora Resort.
Namun berhubung saya kemarin ingin sedikit berkeliling di Ambon & Sawai, jadilah saya mengatur sendiri trip 5D4N ini agar hemat dan efisien ala backpacker dengan sebisa mungkin tidak mengurangi kenyamanan kami berempat. (banyak maunya ya?! :P)
Barang bawaan wajib :
- Baju Renang (bikini atau two piece memang cantik untuk foto eksis, tp untuk kostum snorkeling apalagi diving, lebih baik bawa yang panjang untuk meminimalisir sunburn dan hitam)
- Sunblock dengan SPF maksimal & after sun lotion (saya pakai sunblock 110 SPF selama 2 hari snorkeling berturut2 dan harus pasrah tetap pulang dengan kulit coklat eksotis. FYI, jika sedang musim panas, di daerah Ambon suhunya bisa mencapai 37 derajat celcius!)
- Alat snorkeling (jika punya)
- Tumbler/tempat minum sendiri untuk dibawa saat tur/ snorkeling (air mineral tinggal isi di Resort)
- Plastik/waterproof bag, berguna untuk wadah gadget dan kamera ketika hujan tiba-tiba.
- Multi stop kontak, berhubung di Ora dan Sawai PLN belum masuk, jadi listrik Cuma ada dari jam 18.00 – 06.00.
- Yang gampang lapar, bawalah cemilan sendiri karena di Ora tidak ada warung yang menjual makanan/snack/minuman.
- Kamera underwater (bakal nyesel kalau sampai nggak bawa!)
Day 1
JAKARTA - AMBON
Saya berangkat dengan flight jam 08.00 WIB pagi dan tiba di Bandara Pattimura, Ambon pada pukul 14.00 WIT (perbedaan waktu 2 jam dari Jakarta). Di Ambon tidak ada taksi, namun jika ingin menuju kota dapat menggunakan angkot ataupun mobil carteran yang bisa didapat dengan mudah saat keluar dari pintu kedatangan. Dari teman saya tahu jika tarif mobil carter ke Pelabuhan Tulehu berkisar antara 150K – 200K sekali jalan. Saya beruntung karena punya kenalan, jadi kami dijemput di Bandara untuk diantar sampai ke pusat kota.
Kota Ambon yang berbukit-bukit |
Perjalanan Bandara ke pusat kota memakan waktu kurang lebih 1 jam. Ketika melewati Pantai Natsepa, saya memutuskan untuk berhenti sejenak sambil mencicipi rujak Natsepa yang tersohor itu.
Best rujak I've ever tasted! |
Uniknya, selain buah-buahan rujak Natsepa juga memakai ubi merah dan ketimun. Bumbu kacangnya memang beda. Kacang tanah sengaja tidak digerus halus, menyisakan tekstur kasar kacang yang berpadu dengan legitnya gula merah khas Ambon. Samar-samar rasa pedas dari campuran cabai terasa saat rujak dikunyah. Sungguh nikmat, apalagi ditemani dengan pemandangan pantai Natsepa yang airnya sangat jernih.
Tips : jangan lupa untuk mencoba Gandaria, salah satu buah yang langka di Jakarta ini banyak dijual di pinggiran jalan. Rasanya segar, seperti campuran antara mangga dan jeruk.
Sesampainya di kota, saya berhenti di Beta Ruma, salah satu restoran yang menjual aneka makanan khas Ambon. Kami memesan ikan bakar, sambal colo-colo, kohu-kohu, papeda dan kuah kuning. Rasanya luar biasa enak!
Ikannya besar dan segar dengan aroma yang khas. Rahasianya adalah selama proses grilled/bakar, ikan tidak boleh dikipasi sehingga aromanya meresap ke dalam daging. Papeda dihidangkan dengan mangkuk tanah liat yang bernama “bale papeda” dan gata-gata (sepasang kayu panjang untuk menggulung papeda).
Ikannya segar, kohu-kohunya segar, papedanya juga unik. Recommended bangetlah ini! |
Ikan kuah kuning biasanya menjadi pendamping lauk papeda, namun karena sudah ada ikan bakar, maka saya hanya minta kuah kuningnya yang asam segar. Kohu-kohu adalah favorit saya, sayuran mirip urap dengan suwiran ikan asap ini sukses membuat saya dan teman-teman jatuh cinta. Di berbagai pelosok ambon, Kohu-Kohu disajikan dengan berbagai variasi, mulai menggunakan ikan mentah sampai bia/kima (sejenis kerang laut). Sayangnya si kohu-kohu ini sudah semakin langka, sulit untuk menemukannya meski di Ambon sekalipun.
Patung Martha yang menghadap ke kota Ambon. Epic! |
Puas menikmati makan siang, kami bertolak ke Monumen Christina Marta Tiahahu yang terletak di dataran tinggi. Dari sanalah spot terbaik sunset kota Ambon dapat dinikmati. Siluet Marta Tiahahu seolah sedang mengawasi dan menjaga kota di pesisir laut yang pernah ternodai oleh konflik agama beberapa tahun silam.
Kemudian saya mampir menyempatkan diri untuk membeli oleh-oleh. Pusat oleh-oleh di kota Ambon yang terkenal adalah Petak 10, namun karena kemarin saya mencari lokasi yang terdekat maka saya mampir ke Cahaya Liembers di Jl. WR Supratman. Disini tersedia aneka macam buah tangan yang cukup beragam, mulai dari aneka kue sagu, minyak kayu putih hingga kaos bertuliskan bahasa daerah yang lucu-lucu, harga makanan berkisar dari 10 - 40K.
Di pusat kota terdapat banyak tempat menginap, yang terbagus adalah Swiss Belhotel di jalan Benteng Kapaha. Namun jika budget terbatas, banyak pula guest house dengan harga terjangkau, seperti Victoria Guest House yang terletak dekat dengan Lapangan Merdeka dapat disewa dengan harga mulai dari 200K/malam. FYI, di Lapangan Merdeka inilah tempat Patung Patimura dan Gong Perdamaian Dunia diletakkan.
Salah satu pemandangan di pusat kota Ambon, depan lapangan Merdeka |
Setelah itu, saya melanjutkan jalan-jalan kami ke kedai kopi khas Ambon. Terdapat banyak tempat menikmati kopi di kota ini, namun beberapa yang terkenal adalah Kopi Tradisi Joas, Sibu-Sibu dan Maples Café.
Uniknya hampir selalu tersedia live music di setiap kafe. Para pengunjung dapat menyumbangkan suara sembari menikmati panasnya kopi khas Ambon. Memang darah timur Indonesia dikenal memiliki kelebihan dalam hal tarik suara, terlebih di Ambon yang dijuluki The City of Music. Jangan heran pula saat naik angkot disini, suara musik akan disetel maksimal sehingga dentaman music angkot akan terdengar jelas bagi siapapun yang dilewatinya.
Saya bertandang ke Sibu-Sibu yang buka hingga larut malam. Tempatnya tidak besar namun cukup menarik perhatian karena seluruh dindingnya berisi aneka gambar penyanyi & artis berdarah Ambon.
Pisang coklat dan Kasbi Tone yang rasanya mirip getuk tapi tidak manis. Enak! |
Tips : coba pesan Kopi Sibu-Sibu (kopi + susu kental manis + kacang kenari) atau Kopi Rarobang (kopi hitam dengan campuran rempah & kacang kenari) untuk rasa kopi yang lebih kuat. Terdapat pula aneka jajanan tradisional ambon yang unik di Sibu-Sibu.
Belum puas dengan kopi, kami menyusuri salah satu pasar tradisional di Ambon karena tergiur oleh murahnya durian. Kebetulan di Ambon sedang musim durian sehingga durian cukup murah, mulai dari 10K, saya sudah bisa membawa pulang satu durian utuh berukuran sedang. Puas menikmati suasana malam di Ambon Manise, kami pulang ke guest house dengan perut kenyang.
Cost Day 1 Jakarta-Ambon
Damri ke Bandara : 40K
Rujak Natsepa : 12K/porsi
Makan siang di Beta Ruma : 50K/pax
Guest house : 100K/pax
Ngopi malam di Sibu-Sibu : 30K/pax
Durian : 10K/pax
Oleh-Oleh : 150K/pax
Gong Perdamaian entrance fee : 5K/pax
Total cost : 397K/pax
Komentar
Posting Komentar